Episode Keempat Lukisan
Di suatu malam, cahaya rembulan menyinari sebuah taman yang indah. Namun, di daerah selatan taman itu, terdengar suara langkah kaki kecil. Langkah kecil itu terhenti di sebuah kediaman, yaitu kediaman Martin. Seorang anak kecil melangkah ringan dengan senyum yang tak berhenti terpampang di wajahnya. Anak itu adalah Luc Martin yang telah kembali ke rumah setelah menemukan tempat rahasia yang akan digunakannya sebagai tempat melukis.
Keesokan paginya, senyum itu sirna saat dia mulai menyadari bahwa dia tidak punya satu pun alat untuk melukis. Satu-satunya yang ia miliki adalah bunga yang ia petik dari kebun yang dimana harus melewati proses ekstraksi terlebih dahulu agar bisa menjadi cat warna.
Cara paling mudah yang bisa dipikirkan Luc adalah melalui pedagang keliling.
"Sial, di mana aku bisa menemukan perlengkapan melukis di zaman kuno seperti ini? Aku jelas tidak bisa bilang pada Ayah bahwa aku ingin pergi ke toko alat lukis."
"Satu-satunya pilihan logis hanyalah pedagang keliling, tapi risikonya terlalu tinggi. Barang dagangan mereka sangat acak, apalagi aku sedang mencari perlengkapan melukis."
Luc merasa terjebak dalam kebimbangan. Ia tidak bisa membeli di toko alat lukis karena takut membuat ayahnya marah. Namun, membeli dari pedagang keliling pun bukan pilihan bijak karena barang yang mereka jual sangat tidak menentu. Kalaupun yang dijual adalah alat lukis, tetap saja akan sulit untuk menyembunyikannya dari ayahnya. Karena tak memungkinkan membeli alat yang sudah jadi dikarenakan pengawasan ayahnya, satu-satunya jalan yang tersisa adalah mencari bahan setengah jadi. Dengan kata lain, Luc memutuskan untuk membuat sendiri peralatan melukisnya dari bahan-bahan yang masih setengah jadi untuk mengurangi kecurigaan ayahnya.
Sambil menghela napas panjang, Luc pun mulai memikirkan alasan yang bisa digunakannya agar bisa meminta uang untuk membeli beberapa bahan-bahan setengah jadi, dikarenakan ayahnya yang pasti akan curiga jika dia tiba-tiba meminta uang.
Keesokan harinya dia menemui ayahnya untuk meminta uang, dan seperti dugaannya, ayahnya mulai menanyakan alasan Luc meminta uang padanya. Ayahnya yang curiga dikarenakan Luc yang tiba tiba meminta uang pun menanyakan apa hal yang ingin dibelinya. Luc dengan tenang menjawab yang ingin dia beli hanyalah barang-barang yang akan digunakannya untuk belajar cara bertahan hidup di alam liar, seperti kain untuk membuat tenda dan kayu untuk perapian.
Merasa bangga dengan anaknya yang memiliki inisiatif sendiri untuk menjalankan kegiatan bertahan hidup yang merupakan salah satu kegiatan ksatria, ayahnya pun akan memberikan uang dengan syarat Luc harus menemuinya ketika hari mulai memasuki waktu sore. Luc jelas tau bahwa ayahnya masih mencurigainya yang dikarenakan itulah dia memberi syarat. Namun mau tidak mau dia harus menerimanya agar tidak terlihat lebih mencurigakan. Dia pun langsung bergegas pergi ke pasar karena waktu yang dia miliki tidak banyak
Sesampainya di pasar tradisional, Luc melihat berbagai pedagang dengan berbagai macam dagangannya. Para pedagang menggunakan tenda sederhana dan gerobak kayu untuk menjual dagangannya yang juga dilengkapi dengan papan harga. Pasar ini terbagi menjadi beberapa area berdasarkan barang yang dijual, mulai dari hasil pertanian, rempah rempah dan sayuran, kerajinan tangan, dan barang barang mewah.
Begitu ia menyusuri pasar lebih dalam, ia menemukan sebuah toko kain yang cukup terawat. Di sana, terdapat berbagai gulungan kain dan karpet yang tertata rapi. Seorang pria paruh baya muncul dan berkata, "Hei, anak kecil, bajumu terlihat bagus. Apakah kau ingin membeli sesuatu di sini?"
Luc dengan sopan menjawab, "Paman, saya ingin mencari kain. Bolehkah saya berkeliling untuk melihat-lihat beberapa kain di toko ini?"
Penjual itu mengizinkannya dan mempersilakan Luc untuk melihat-lihat berbagai kain dengan jenis dan harga yang beragam. Saat sedang melihat-lihat, Luc yang awalnya ingin mencari kain linen, tertarik dengan sebuah kain bertuliskan kain muslin yang sangat murah dan tipis. Penjual itu pun berkata bahwa kain tersebut terbuat dari katun dengan daya serap yang baik. Mendengar itu Luc pun langsung membelinya. Mendengar itu pria paruh baya itu kaget, "Apakah kau yakin ingin membeli ini? Karena kain ini merupakan kain yang paling murah di toko ini."
Namun, Luck sudah tegas dengan pilihannya. Ia juga menawar harga yang membuat dia bisa mendapatkan kain dalam jumlah yang banyak dan harga yang murah. Penjual pun setuju dan menjual kain itu kepada Luc. Luc pun menaruh kain itu di tasnya dan dengan sisa uang yang ia miliki, ia menghabiskan semua uangnya untuk membeli kayu. Namun tak terasa matahari telah condong ke barat, Luc yang tau langsung berlari sekuat tenaga menuju ke rumahnya.
Setibanya di rumah, ayahnya menyambutnya dengan senyuman hangat, "Luc, apa saja yang telah kau beli di pasar?" tanyanya dengan penuh kecurigaan.
Sadar bahwa ayahnya masih curiga Luc pun menjawab dengan hati-hati, "Aku hanya membeli kayu dan kain, Ayah." sembari menunjukan barang yang dibelinya.
Ayahnya yang sebelumnya penuh kecurigaan langsunh tertawa terbahak-bahak melihat kain yang dibawanya, "Kain Muslin? Itu bukan bahan yang tepat untuk kegiatan di luar ruangan, Luc. Tapi tidak apa-apa, kesalahan adalah awal pembelajaran. Setidaknya sekarang kau tau kalau kain yang kau beli itu salah."
Walaupun kini dia terlihat seperti orang bodoh, namun dengan ini kecurigaan ayahnya pun menghilang. Kemudian ayahnya melanjutkan pembicaraan, "Luc, kau akan pergi ke alam liar esok hari, sebelum itu ayah ingin mengajarimu cara berburu di hutan. Ini adalah keterampilan penting yang harus kau miliki agar kau tidak mati kelaparan diluar sana."
Untuk lebih mengurangi kecurigaan ayahnya mau tidak mau dia harus ikut berburu. "Baiklah, Ayah. Aku akan ikut."
Mereka berdua menyiapkan diri untuk berburu. Masing-masing membawa satu kuda, tas untuk menyimpan hasil buruan, busur, dan beberapa anak panah. Untuk berjaga-jaga, ayahnya membawa pedang, sementara Luc membawa sebilah pisau kecil.
Perjalanan mereka dimulai dengan tenang. Namun, tiba-tiba terdengar suara gesekan di atas pohon. Luc menoleh dan melihat seekor tupai yang lincah melompat dari satu cabang ke cabang lainnya. Berpikir bahwa ini kesempatan yanh bagus ayahnya menyuruh Luc untuk memanah tupai itu, "Luc, coba kau panah tupai lincah di sebelah sana."
Luc mengangguk. Ayahnya mengajari Luck cara memanah agar tak meleset. "Ingat, Luc. Posisi tubuh harus stabil. Tarik tali busur hingga mencapai dagu, fokus pada target, dan lepaskan dengan tenang. Jangan terburu-buru."
Dengan hati-hati, Luck mengikuti petunjuk Ayahnya. Ia menarik tali busur, membidik, dan "Whoosh" anak panah dilepaskan. Tepat sasaran! Tupai itu jatuh ke tanah.
Namun, saat Luc mendekati hasil buruannya, tiba-tiba muncul serigala jantan yang menerkam. Luc dalam sepersekian detik melompat dari atas kuda dan selamat dari terkaman. Namun sebagai gantinya, kuda Luc terluka akibat serigala itu. Pikirannya buntu, ini pertama kalinya dia menghadapi hewan buas membuat dia terdiam dalam ketakutan. Serigala itu pun langsung menerkam kembali, tetapi untungnya tubuh Luc tiba tiba bergerak sendiri menghindari serangan itu.
Di saat itulah, sebuah panah dengan tepat mengenai serigala di depan Luc. Tak lain lagi, panah itu berasal dari ayahnya yang dengan gagahnya melompat dari kuda sembari mengeluarkan pedangnya. Serigala-serigala yang merasa tidak akan menang terpaksa mundur dari mereka berdua. Setelah suasana tenang, melihat kondisi tubuh Luc yang tidak terluka membuat ayahnya merasa lega. Setelah peristiwa itu mereka langsung kembali kerumah. Ibunya yang mendengarkan cerita itu langsung memeluk Luc untuk menenangkannya. Peristiwa tadi juga membuat rencana Luc untuk beralasan bertahan hidup agar dia bisa membuat alat melukis hancur.
Beberapa hari setelahnya kini situasi mulai tenang semenjak peristiwa itu. Luc pun meminta izin orang tuanya untuk berpergian di alam liar. Walaupun ayahnya dan ibunya masih dipenuhi rasa khawatir dikarenakan kejadian malam itu, tetapi mereka tetap menepati janjinya dengan syarat Luc hanya akan berpergian dari waktu pagi hingga sore dan saat malam hari dia sudah harus ada dirumahnya. Dengan izin dari orang tuanya, Luc pun langsung pergi sambil membawa tas yang berisikan beberapa alat.
Dengan rencananya kini dia berhasil pergi ke studionya yang berada di bawah taman. Dia memilih membuatnya disana karena akan terlalu mencurigakan jika dia membawa barang-barang besar ke sana, yang membuatnya mau tidak mau harus membuat alat-alat itu di studionya. Hal pertama yang harus dibuatnya yaitu arang dikarenakan pembuatannya yang paling mudah dan dibutuhkan dalam pembuatan barang-barang lainnya. Dia pun mengeluarkan wadah besi yang mirip dengan panci masa kini dari tasnya dan memasukkan kayu-kayu lunak yang dibelinya. Lalu, dia menutup wadah tersebut untuk mengurangi oksigen di dalamnya, dan juga api yang dihasilkan dapat digunakan untuk memasak air hangat yang akan berguna untuk membuat warna. Dan dia tinggal menyalakan api di bawah wadah dan jadilah arang.
"Baiklah, barang pertama sekarang sudah selesai. Tapi masih ada banyak hal yang harus kubuat."
Barang kedua yang dia buat adalah palet. Dia mulai dengan memotong kayu, memberi tanda seukuran ibu jarinya menggunakan arang yang sudah dibuatnya, memotong bagian yang sudah ditandai dengan pisau yang dibawanya, dan yang terakhir menggunakan amplas untuk menghaluskannya. Dan jadilah palet.
"Hah akhirnya selesai...alat ini jauh lebih susah dibuat dibanding kelihatannya."
Kini barang ketiga yang dibuatnya adalah kuas lukis. Dia mulai mengeluarkan sesuatu yaitu bulu tupai yang dibawanya dari rumah hasil dari kegiatan berburunya pada malam itu. Tanpa pikir panjang dia langsung memotong rambut tupai itu menjadi sama panjang, membentuk bagian ujungnya menjadi runcing, mengikatkan ferrule yang dibuatnya dari kayu yang dipotong tipis, dan membuat gagangnya. Yang terakhir dia hanya perlu memasang bulu tupai tadi pada gagang menggunakan benang yang biasanya dipakai ibunya untuk menenun kain dan memasangkannya ferrule agar kuas lebih kuat dan presisi. Dan setelah itu dia juga membuat kuas lebar yang pembuatannya kurang lebih sama dengan kuas runcing, namun bulu yang sebelumnya dibentuk runcing kini dibentuk lebar.
"Sepertinya kedua kuas ini sudah cukup untuk kugunakan melukis."
Barang keempat yang tidak kalah penting adalah easel untuk menaruh kanvas. Dia mulai memotong kayu itu menjadi 3 kaki, 1 penyangga, dan 1 papan penahan kanvas. Setelah itu dia merakit kaki dan penyangga menggunakan paku, dan memasang papan kayu horizontal sebagai penopang kanvas. Dan yang terakhir adalah menghaluskannya menggunakan amplas.
"Akhirnya terbentuk juga...Sekarang yang kuperlukan hanya kanvas."
Walaupun mengatakannya cukup mudah, tetapi dari semua alat, mungkin inilah yang paling rumit untuk dibuat. Ia pun menyiapkan selembar kain yang dibelinya. Pertama-tama, ia mengambil beberapa batang kayu lurus dan memotongnya menjadi empat sisi bingkai. Dengan teliti, ia menyambungkan kayu-kayu tadi menjadi stretcher frame, bingkai kayu tempat kain akan direntangkan. Ia menggunakan paku kecil dan lem kayu untuk memastikan rangkanya kokoh. Setelah itu, ia meregangkan kain di atas bingkai, menariknya sekuat mungkin agar permukaannya rata. Satu per satu, ia menancapkan paku kecil di pinggir bingkai, memastikan kain tidak kendur sedikit pun. Tapi itu belum selesai.
Ia kemudian mengambil lem kelinci yang ia buat sendiri dari kulit hewan yang juga hasil buruannya, direbus perlahan hingga menjadi cairan kental berwarna bening. Lem itu ia campur dengan kapur halus, diaduk hingga menjadi campuran putih kental: Gesso, lapisan dasar bagi setiap lukisan. Dengan kuas lebar, ia mengoleskan gesso ke seluruh permukaan kain. Setelah kering, ia mengamplasnya pelan-pelan, lalu mengulanginya, melapisi dan menghaluskan hingga permukaan itu terasa rata, padat, dan siap menerima sapuan warna.
"Akhirnya alat alat ini selesai. Tapi... masih ada hal lain yang perlu kubuat." ucapnya sambil mengambil bunga bunga kering yanh telah ia kumpulkan dengan hati hati.
Ia memasukkannya ke dalam wadah, lalu menuangkan air panas ke atasnya. Uap hangat segera membawa aroma bunga memenuhi ruang sempit studionya. Air panas itu perlahan menarik keluar pigmen dari kelopak, menciptakan larutan berwarna yang kaya dan alami.
"Seharusnya ini sudah bagus, selanjutnya aku harus menambahkan garam."
Dengan gerakan tenang, Luc menambahkan sejumput garam ke dalam campuran. Garam itu bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi juga berfungsi sebagai pengawet alami untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme yang bisa merusak warna dalam penyimpanan jangka panjang.
Setelah pigmen cukup larut dan warna terlihat kuat, ia menyaring larutan itu menggunakan kain tipis, membiarkan cairan jernih berwarna menetes perlahan ke dalam botol kaca kecil. Botol-botol itu ia tutup rapat menggunakan sumbat kayu yang telah dilapisi lilin, agar udara tidak masuk dan kualitas warna tetap terjaga.
"Akhirnya aku pekerjaan melelahkan ini selesai. Sekarang aku selangkah lebih dekat menuju mimpiku." ucapnya dengan lega.
"Tapi... apa lukisan pertama yang akan kubuat?"
Komentar
Posting Komentar