Episode Kedua Takdir Dan Hasrat
TAKDIR DAN HASRAT
Disertai dengan cahaya pagi yang menembus tirai berat, tergantung di jendela besar kediaman Martin. Burung-burung di luar bersenandung pelan, seolah menyambut hari baru di kerajaan Clairmont. Namun bagi Luc Martin, hari itu bukanlah awal-melainkan lanjutan dari mimpi yang belum tuntas.
Bayi berusia enam bulan itu terbaring di ranjang mungil dari kayu ek. Di balik tatapan bulat matanya yang bening, tersembunyi jiwa seorang pria dewasa: Theo Laurent, pelukis yang mati dikarenakan kesalahpahaman.
"Aku masih hidup... dalam wujud ini," batinnya, meski lidahnya belum bisa bicara. Tapi pikirannya jernih. Terlalu jernih untuk seorang bayi.
Di seberangnya terdapat sebuah kursi yang diduduki oleh seorang wanita cantik nan anggun yaitu Camilla Martin. Ia tengah menenun kain sutra berwarna biru langit sambil mengawasi Luc dengan mata lembut penuh kasih sayang. Suaranya menenangkan, penuh nada-nada kasih ibu yang tulus dan menyentuh hati.
"Kau makin cerdas, sayang," ucapnya pelan.
"Kau sepertinya meyukai warna, ya?"
"Wajahmu terlihat senang setiap kali melihat langit biru"
Luc mengedip. Langit biru memang indah. Tapi bukan itu yang ia cari. Ia menatap tangan kecilnya. Tak stabil. Tak kuat menggenggam kuas. Tapi keinginan itu-hasrat menciptakan-telah menyala kembali.
"Klack...Srek...."
Pintu terbuka. Suara derap sepatu bot berat bergema di lantai batu.
Louis Martin, ayahnya, memasuki ruangan dengan sikap tegas dan suara yang sekeras baja. Tubuhnya menjulang, mengenakan mantel hitam berpadu dengan lambang kerajaan Clairmont: perisai biru dengan tiga bunga lili putih yang tersusun secara simetris.
"Bagaimana kabar anak laki-lakiku hari ini?" tanyanya sambil mendekat.
Luc bergumam pelan. Ia tidak bisa bicara, tetapi rasa hangat dari kehadiran seorang ayah yang seharusnya ia rasakan kini tidak terasa sama sekali. Yang ia lihat hanyalah harapan besar yang akan menjadi bebannya di masa depan.
Camilla tersenyum lembut. "Dia tumbuh cepat. Matanya selalu memperhatikan benda-benda, cahaya , langit , warna..."
Louis mengerutkan kening. "Ksatria tidak bermain dengan warna, Camilla. Ia seharusnya belajar memegang pedang kayu, bukan kain."
"Dia masih bayi, Louis."
"Justru itu. Seorang keturunan keluarga Martin ditempa sejak dini. Kita adalah darah pertahanan Clairmont. Dan hal itu sudah dilakukan turun temurun, kau tahu itu."
Luc memejamkan mata. Dia pernah mengalami kehidupan ini-tekanan, ekspektasi, dan dunia yang menolak mimpi yang tak sesuai dengan takdir. Di dunia sebelumnya, ia gagal karena tak cukup berani menentang arus. Kali ini... ia bersumpah tidak akan mengulang kesalahan yang sama.
Malam tiba. Camilla menyusui Luc di samping perapian. Di tangannya, Luc mencakar-cakar kain linen yang ia sembunyikan dari Louis. Kain itu penuh dengan coretan samar yang ia buat menggunakan jus buah dan tanah liat. Bentuknya belum jelas, tapi ada pola. Ada dorongan tak terhindarkan untuk menciptakan.
TAKDIR DAN HASRAT
Ia bukan sekadar bayi. Ia adalah Theo Laurent yang hidup kembali.
"Aku akan melukis dunia ini," batinnya. "Entah bagaimana caranya, aku akan mengubah takdirku. Aku bukan pedang, bukan perisai... aku adalah kuas."
Dari jauh, suara Louis terdengar lagi, melatih pedang bersama para ksatria. Tapi di ruangan itu, Luc menggenggam masa depan dengan jari mungilnya.
Dan kali ini, dia akan menyelesaikan lukisannya-sebelum gelap datang lagi.
-BERSAMBUNG-
Komentar
Posting Komentar